Film pendek adalah film yang berdurasi pendek, simpel, dan memiliki nuansa kompleks. Film pendek dapat saja hanya berdurasi 60 detik, yang penting ide dan pemanfaatan media komunikasinya dapat berlangsung efektif. Hal ini berhasil dibuktikan oleh karya-karya film pendek hebat dengan alur cerita dan maknanya yang mendalam, beberapa di antaranya diproduksi oleh sebuah sekolah animasi bernama GOBELINS. Sekolah animasi asal Paris ini telah berdiri selama enam tahun dan banyak memproduksi hasil karya dari para pelajarnya, mulai dari film animasi, video game, desain interaktif, fotografi, desain grafis, dan karya seni digital lainnya yang sering diunggah dalam kanal YouTube mereka. Salah satu karya film pendek terbaru dari GOBELINS yang dirilis pada Desember lalu, berjudul “The Shyness Of Tree”, kembali berhasil menarik hati banyak penonton.
Animasi berdurasi kurang dari sembilan menit ini mengambil isu tentang kematian. Mengisahkan tentang relasi antara ibu dan anak perempuannya, “The Shyness Of Tree” mampu memvisualisasikan dukacita dan perasaan campur aduk seseorang ketika menghadapi kepergian orang yang dicintai. Cerita dalam film ini dimulai ketika seorang wanita setengah baya bernama Helene mengunjungi kediaman ibunya di pedesaan Prancis. Helene menyadari bahwa ibunya bersikap sangat aneh, berperilaku seakan-akan memiliki hubungan yang kuat dengan tanaman, serangga, dan pohon oak di halaman belakang rumahnya. Setelah mengkonfrontasi ibunya atas kekhawatirannya itu, Helene berusaha membantunya dengan membersihkan pekarangan, mencabuti tumbuhan liar, dan memindahkan pot-pot tanaman yang memenuhi rumah tersebut. Malam harinya, ketika hendak tidur di samping sang ibu, Helene seakan-akan di dunia mimpi, melihat ibunya berubah menjadi pohon oak di belakang rumah. Di sinilah puncak Helene menghadapi kepergian ibunya. Setelah banyak tangisan dan sikap Helene yang bersikeras tidak mau melepas sang ibu, di akhir film, Helene dapat menerima kepergiannya.
Sofiia Chuikovska dan Loick Du Plessis selaku sutradara dari film pendek ini mampu menyampaikan kisah yang penuh makna melalui animasi cantiknya. Penggunaan warna yang dimainkan sepanjang film mampu menunjukkan emosi yang dirasakan oleh sang karakter utama dan secara keseluruhan, suasana adegan tertentu. Ketika adegan netral, pencahayaan dan pewarnaan dalam animasi terlihat hangat dan cerah, sedangkan ketika adegan intens, warna yang dominan dalam animasi adalah warna-warna gelap seperti biru tua, hitam, dan ungu, menunjukkan emosi dari Helene yang bingung, khawatir, dan sedih. Melalui palet-palet warna yang beragam inilah penonton diajak masuk ke dalam kacamata sang pemeran utama, Helene. Secara implisit, pesan yang ingin disampaikan oleh kedua sutradara nampak dalam tiap adegannya dan melalui sikap Helene sendiri. Sepanjang film penonton dapat menyaksikan bagaimana karakter Helene mengalami perkembangan, dari awalnya yang nampak keras kepala, tegas, dan khawatir akan ibunya, menjadi lebih tenang dan damai di akhir film, menandakan kerelaannya melepaskan sang ibu.
Film ini dikategorikan sebagai Computer Graphic Animation, jenis 2D dan 3D. Karakternya digambarkan mayoritas 2D dan latar terbuat dari 3D. Tema “kematian” digambarkan melalui pendekatan formalisme, sesuai dengan tulisan Ricciotto Canudo sejak 1907 melalui manifesto tentang film sebagai seni baru yang menggabungkan seni spasial dan temporal. Membuat alternasi dari dunia nyata memungkinkan direktor untuk membengkokkan dimensi waktu dan dimensi spasial. Pembengkokkan kedua dimensi tersebut terlihat saat adegan Helene mengejar ibunya yang semakin menyatukan dengan pohon, ia menyusut dari wujud dewasanya ke wujud saat ia kecil, latar yang terus berubah dari memanjang lalu meninggi serta keberadaan serangga yang menari, suatu hal yang tidak mungkin ada di dunia nyata. Transisi dan pergantian sudut pandang yang jarang ditemukan di dunia nyata memberikan sedikit perasaan aneh yang mendukung rasa urgensi Helene. Ekspresi Helene yang digambarkan lebih dramatis dan lighting di saat ia berbaring di sebelah ibunya berhasil menampilkan rasa takut yang dialaminya, rasa takut akan kehilangan yang relevan bagi semua orang.
Secara alur film ini tidak banyak bertele-tele, dari adegan awal hingga akhir tidak ada adegan yang terasa tidak diperlukan. Bahkan jika durasi dari film ini mungkin ditambahkan dengan adegan yang dapat memperjelas simbolis-simbolis yang ada di film akan jauh lebih baik. Pertanyaan apalah relasi tanaman-tanaman dengan ibu Helene? Apakah tanaman tersebut seharusnya menggambarkan kondisi hidup ibu Helene yang semakin hari semakin memburuk karena tubuhnya semakin lemah? Apa yang dimaksud dengan serangga-serangga yang menari? Hal-hal seperti seharusnya bisa dijelaskan melalui adegan lain, mungkin melalui adegan masa kecil Helene dengan ibunya. Pilihan untuk meminimalisirkan dialog memperkuat fokus penonton pada animasi dari film ini. Amanat dari film ini tersampaikan secara implisit, membebaskan penonton untuk menyimpulkan suatu makna dari visualisasi yang diberikan. Dengan permainan warna, sound effect, dan simbolisme dalam filmnya, GOBELINS dapat menarasikan sebuah kisah menyentuh hati walaupun dalam durasi yang pendek dan dialog yang minim.
Meskipun kisah yang diangkat cukup relevan bagi banyak orang, “The Shyness Of Tree” dapat dinikmati secara maksimal apabila penonton mampu mengenkripsi simbolisme yang banyak terkandung didalamnya. Hal ini tentunya dapat membatasi pengalaman menonton banyak orang yang terbatas dalam pengetahuan tersebut, sebab tak sedikit adegan dalam film yang terkesan aneh atau unik bagi penonton awam yang mungkin tidak memahami makna mendalam yang terkandung. Seperti ketika tiba-tiba saja ibu Helene yang terbaring di atas kasur diselimuti dengan dedaunan sedangkan Helene sendiri tidak. Atau ketika seekor burung woodpecker yang muncul di awal film terbang dari dahan pohon di akhir. Tetapi mungkin yang paling unik adalah ketika ibu Helene berjalan telanjang menyusuri taman belakang rumahnya menuju pohon oak besar di sana. Jika penonton tidak pandai memecahkan makna sebenarnya dibalik adegan ini, pastinya banyak yang akan berpikir itu hanyalah adegan vulgar, sehingga mengurangi kekuatan sesungguhnya dari film ini. Dengan adanya adegan vulgar tersebut, walaupun hanya beberapa detik saja, dapat mempersempit jangkauan penonton yang dituju, yaitu hanya dapat ditonton oleh pemirsa berusia lebih dari 15 tahun. Padahal, jika adegan itu tidak dimasukkan dalam film, animasi ini cocok dinikmati oleh semua kalangan usia apalagi dengan makna indah yang terkandung di dalamnya.
“The Shyness of Trees” merupakan film pendek yang berhasil membawa topik kematian yang dikemas dengan cara unik, penuh dengan warna, dan simbolisme. Namun, banyaknya simbolisme tanpa adegan penjelas yang cukup mungkin membuat orang awam susah mengerti film ini dengan sepenuhnya.
Oleh Cornelia Renanda (XII IPS 3/11) dan Faustine Delfina (XII IPS 3/16)
No responses yet